Oleh: Asef Syaefullah
Pendamping Lokal Desa (PLD) merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 47 tahun 2018 pasal 128. Pendamping desa merupakan salah satu perwujudan kerja kabinet presiden Jokowi dan Yusuf Kalla yakni NAWACITA salah satunya adalah Membangun Indonesia dari Pinggaran dan Desa yang dilaksanakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan slogan “Desa Membangun Indonesia”. Dalam Permendes Nomor 3 Tahun 2015 Pendampingan Desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan Pendampingan Desa.
Substansi pendampingan sejalan dengan munculnya regulasi mengalir 4 tugas, pokok dan fungsi yang tidak bisa kita pisahkan, yaitu : Mendampingi desa dalam merencanakan pembangunan (planning), pelaksanaan pembangunan (impelemtation/ actualizing), mendampingi desa dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan desa (empowerment), monitoring dan evaluasi (Monev).
Pendampingan desa sesungguhnya bertujuan mewujudkan akselerasi percepatan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat. Kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif juga perlu diarahkan agar kemajuan desa dapat tercapai.
Adanya pendampingan desa diharapkan dapat tercipta pembangunan yang partisipatif dari pemerintah desa dan masyarakat. Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang merupakan usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan dan masyarakat secara keseluruhan yang dilakukan secara berkelanjutan yang berlandaskan pada potensi dan kemampuan desa.
Metode pendekatan pendampingan Desa pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pola pendampingan program-program pemberdayaan yang lain. Akan tetapi yang menjadi tantangannya adalah bagi sebagian pihak pendamping dianggap tidak memiliki kewenagan yang terlalu besar ditengah-tengah kompleksitas berbagai persoalan di desa.
Termasuk didalamnya pendamping tidak dapat mengakses langsung pengawasan dan pengendalian keuangan, kualitas dan kuantitas pekerjaan serta secara langsung tidak pula dapat mengendalikan tahapan proses. Karena dalam UU Desa dan regulasi turunannya sudah jelas mengatur terkait hak-hak desa.
Sehingga menjadi tidak efektif keberadaan pendamping seandainya format metode manajemen pendampingan tidak disesuaikan, di upgrade. Peran pendamping yang diharapkan berfungsi juga sebagai fasilitator-pemberdayaan harus betul-betul dipertajam, penguasaan terhadap konsep UU Desa dan regulasi turunannya menjadi sangat penting agar implementasi UU Desa tidak kehilangan akar idiologisnya.
Satu pertanyaan mendasar timbul, bagaimana agar keberadaan dan peran pendamping UU Desa menjadi efektif serta dirasakan manfaatnya langsung bagi subjek pembangunan desa.
Substansi dari konsepsi hadirnya pendamping untuk mengawal impelementasi Undang-Undang Desa sebagaimana dijabarkan dalam PP Nomor 43 tahun 2014 pasal 128 – 131 adalah salah satu strategi pembangunan untuk melindungi, menguatkan dan memberdayakan desa agar lebih maju, sejahtera, mandiri dan demokratis. Salam Berdesa.
Penulis adalah Tenaga Pendamping Lokal Desa (PLD) Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu – Jawa Barat